Bis yang sering dinaiki oleh mahasiswa Unpad begitu kumuh dan tak terawat. Tapi mau enggak mau, setiap mahasiswa kala itu, harus menerima dengan lapang dada, karena tidak ada lagi bis yang mengantarkan dari Dipatiukur Bandung menuju Jatinangor.
Termasuk aku
yang bertumbuh agak pendek dan sempat tidak pede dengan kondisi badan karena
teman-teman ku sekelas hampir sebagian besar semampai, walaupun ada juga yang
lebih kecil dibandingkan diriku, tapi mengapa saja ada alasan untuk
membandingkan tubuh ini dengan yang lain.
Tetiba, dengan
perantara bis Damri (maaf kusebut juga mereknya) membuat kesan ku berubah
seketika dan saat yang bersamaan entah mengapa aku langsung mencintai diriku
sendiri. Apa sebab?
Bagi yang sudah
merasakan menumpangi bis dambaan para mahasiswa di era 2000-an, tentunya tahu
jarak antara bangku satu dengan yang lain, mepet sekali. Hingga suatu saat,
sebuah momen bersejarah mengubah persepsi tentang diriku.
Ada sosok pria berkulit putih semampai mungkin tingginya mengungguli mahasiswa manapun di Jatinangor, rambutnya dibiarkan panjang serta berwarna pirang, setahuku pria ini menjadi pujaan para Wanita. Enggak aneh kan, udah mah ganteng, tinggi, putih, macho, rambutnya pirang kaya bule gitu, wajar aja sih. Pikirku saat itu.
Ya, ia tepat duduk di sebelahku yang sama-sama berpanas ria menaiki bis berwarna
biru ini. “Tampang boleh beda, tapi derajat kendaraan umum sama dong,” begitu
gumamku.
Ya ternyata
pria itu agak kewalahan karena kakinya perlu diangkat setengahnya, dikarenakan
jarak antara bangku dengan bangku begitu dekat. Sepanjang perjalanan, aku terus
memperhatikan gerak-geriknya dan kurasakan sekali beliau tidak nyaman memiliki
tubuh tinggi. Sedangkan aku, dengan asyiknya menikmati perjalanan bahkan sempat
tertidur pulas karena badan aku pendek dan bisa leluasa sedikit memanjangkan
kakiku. “Alhamdulillah, terimakasih ya Allah aku dilahirkan dengan tubuh yang
tidak tinggi seperti dirinya,” doa itu tanpa sengaja terpanjat di dalam hati.
Pengalaman
sederhana seperti ini begitu membekas, mungkin bagi sebagian orang sepele.
Bagiku tidak. Berusaha untuk terus mengambil hikmah dari segala kejadian ini
yang membuat diriku tak pernah kehabisan bahan motivasi, entah saat tampil di depan umum
sebagai pembicara atau menerbitkan dengan target 100 buku sebagai penulis.
Betul sekali, banyak orang diluaran sana mudah galau, susah move on, insecure, dan toksik sama diri sendiri. Bahkan ada sesorang yang mengatakan, apa yang mau di cintai dari diri gue? Ya, gue kan gini-gini aja. Enggak ada kelebihan.
Bagi saya ini mengerikan. Padahal kita itu hebat lho. Tuhan sudah memberikan modal kita untuk sukses. Mari kita buka faktanya!
Sejak kita lahir, ternyata kita telah memiliki 100.000.000.000 (seratus miliar) sel otak aktif dan didukung oleh 900.000.000.000 (Sembilan ratus miliar) sel pendukung lainnya. Total Ada 1 Triliun Sel Otak. Lebah yang hanya MEMILIKI 7 RIBU SEL OTAK, ternyata dapat mencari madu, pulang ke sarangnya dan memberi tahu teman-temannya ke lokasi madu tersebut tanpa alat yang dinamakan GPS!
Yang lebih luar
biasanya lagi, jika ingin membangun sebuah komputer super dengan kemampuan
pemrosesan dan kapasitas memori mendekati otak manusia, maka besar komputer
tersebut panjangnya harus lima puluh kali lapangan sepak bola dan tingginya
sama dengan patung liberty, sedangkan otak kita hanya memerlukan daya listrik
harian yang lebih kecil daripada bola lampu 10 watt!
Percaya enggak,
jika seluruh jaringan telepon di dunia dikumpulkan, maka kemampuannya setara
dengan kemampuan otak seukuran satu butir kacang tanah? Artinya, jika otak kita
dioptimalkan benar, kemampuan kita lebih hebat dibanding seluruh jaringan
telepon di dunia.
Dengan semua
data seperti itu, masih saja insecure? Tidak percaya diri bahkan mengizinkan
untuk toksik sama diri sendiri?
Saya mau
bahagia kang. Apa yang harus saya lakukan?
Pertanyaan
bagus. Di sebuah seminar yang dihadiri ratusan orang, saya sempat bertanya
kepada peserta. Mana yang lebih penting, bahagia dulu baru sukses atau sukses
dulu baru Bahagia? Tak disangka, pertanyaan ini membuat bingung mereka dan saya
perhatikan hampir sebagian besar mengernyitkan dahi tanda sedang berpikir
keras. Jadi, sukses dulu baru bahagia, atau bahagia dulu baru sukses?
Detik kelima
mereka pun menjawab sekenanya, ada yang bilang sukses dulu, tak sedikit
jumlahnya mengatakan bahagia dulu, uniknya ada yang jawab dua-duanya karena
pasrah tak menemukan jawaban.
Mari kita buat
contoh lebih dekat dengan kehidupan kita. Bagi kamu seorang pelajar atau
mahasiswa, yang kesuksesan diterjemahkan dengan lulus dan wisuda. Pertanyaan
nya, bahagia dulu baru lulus dan wisuda atau lulus dan wisuda dulu baru
bahagia?
Hemm, apa ya Kang?
Simpan dulu jawabannya! Contoh yang lain, kalau kamu anak muda yang baru menikah dan belum memiliki rumah. Pertanyaan sama, bahagia dulu baru punya rumah atau punya rumah dulu baru bahagia?
Demi menghibur
peran si Ijo Lumut, Ikatan Jomblo Lucu dan Imut. Kamu masih single dan ingin
sekali memiliki pasangan serta menikah. Nah, pertanyaannya ya ‘blo’. Bahagia
dulu baru menikah, atau menikah dulu baru bahagia?
Kesimpulannya,
bahagia dulu baru sukses atau sukses dulu baru bahagia?
Sukses dulu baru bahagia ya Kang? Betul kan?
Nah, seringkali kita
membahas tentang kesuksesan, tapi lupa membahas tentang kebahagiaan. Jadi
seolah-olah, bahagia ada di belakang kesuksesan. Awalnya, saya menyetujuinya.
Sekitar tahun
2010-an, Saya memasuki industri Network Marketing, di sana saya belajar
tentang banyak hal dan mengubah mindset yang rasa-rasanya kalau tidak ditempat itu,
tidak bisa sampai ke titik ini. Tapi, ada satu hal yang dirasakan ketika
menjalankannya bisnis tersebut, ada ketidakbahagiaan dalam hati, terutama
ketika menawarkan bisnis dan ditolak presentasi oleh calon konsumen.
Memang sih para
pelatih bisnis, selalu memotivasi untuk mengikis pikiran-pikiran seperti
itu, karena hal itu bisa menghambat kesuksesan dalam bisnis. Cuma, semakin
dipendam kok semakin tidak kuat menahannya. Hanya apa daya? Karena waktu itu, saya
tidak bisa membedakan kesuksesan dan kebahagiaan.
Walaupun saat
itu, pernah mencapai gelar bergengsi di bisnis tersebut, keselarasan pikiran
dan perasaan belum matching. Cuma hal itu terus dipendam, akhirnya saya
mendapatkan kesempatan beberapa kali untuk tampil menginspirasi orang lain,
padahal kalau dibilang sukses, belum sukses-sukses juga kok. Eh cuma, kok seru
yah ngomong di depan umum dan menginspirasi mereka, “kok gue banget yah… kok
happy pisan yah aktivitas seperti ini!” jawabku dalam hati.
Soal
pencapaian, beberapa kali tidak mendapatkan target yang diinginkan
sedangkan teman-teman yang lain malah melesat dalam mencapai targetnya. Aneh
juga yah. Sempat down juga saat itu, padahal seingetku, sudah melakukan semua
cara deh. Tapi kenapa masih belum berhasil yah?
Di saat yang
sama, saya membuat komunitas yang berubah menjadi perusahaan dan
bertransformasi menjadi Holding Company. Namun, semua hal yang sudah dibangun,
kok berantakan dan ambruk menghasilkan hutang yang tidak sedikit. Padahal saya merasa
sudah bekerja sangat keras. Ya sangat keras, pergi lebih pagi dibandingkan tim,
pulang lebih malam dibandingkan mereka, tapi secara penghasilan lebih sedikit
dibandingkan karyawan yang digaji setara UMR. Tapi kok bisa bangkrut yah?
Jujur saja, di
titik itu sempat menyesal sejadi-jadinya dan menyalahkan diri sendiri sehingga
kebahagiaan jauh menghampiri.
“Iya, kan…
semua yang akang lakukan hasilnya gagal. Maka dari itu jadi tidak bahagia kan?”
Bener juga sih
logikanya… karena saya gagal, maka tidak bahagia. Kalau sukses pasti bahagia!
Betul seperti itu?
Menariknya,
sekarang saya membangun dua perusahaan yang dulu pernah bangkrut dan tutup.
DeMiracle Academy adalah Lembaga pelatihan yang pernah saya bangun bersama
teman-teman belasan tahun silam. Sedangkan Buku Langka Indonesia Lembaga penerbitan
yang saya hidupkan kembali ketika penerbitan saya dulu terasa tak berkembang
bahkan mati.
Lucunya saya
bahagia!
Karena dua
Lembaga itu sukses akang bangun, jadi wajar bahagia! Iya kan?
Enggak juga.
Waktu awal-awal membangunnya prosesnya sama kok. Ada kerja keras, usaha total
membangun tim, serta menjaga operasional dan kualitas produk tetap baik. Tapi
anehnya sekarang saya lebih bahagia dan mencintai diri saya. Kok bisa?
Jenis
perusahaannya bisa jadi sama, tapi proses menjalankannya berbeda. Di awal saya
ingin sukses dan lupa dengan bahagia. Sekarang, bahagia dulu. Insyaallah sukses
siap menghampiri.
Lalu apa bahagia?
Apakah menurut kamu orang-orang yang bahagia adalah orang-orang yang punya banyak duit dan kaya raya?
Pasangannya cantik atau ganteng?
Dijodohkan sama pasangan yang anak satu-satunya dari orang tua yang uang nya enggak habis 7 turunan?
Itu yang disebut bahagia?
Lalu mengapa ada seorang artis yang menikah dengan suami turunan pengusaha yang sepertinya hartanya tak habis beberapa turunan dan mereka berdua tertangkap sedang menggunakan narkoba?
Dikutip dari
liputan6.com, mereka resmi menjadi tersangka dan ditahan atas dugaan
penyalahgunaan narkoba. Polisi mengamankan sabu 0,78 gram dan bong atau alat
isap sabu sebagai barang bukti. Dalam kasus ini, mereka dijerat pasal 127 UU
No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ancaman hukumannya 4 tahun penjara. Lewat
pengacaranya, mereka sudah mengajukan rehabilitasi.
Coba deh
berpikir sejenak, kehidupan mereka kurang apa lagi sih? Kaya raya dan tinggal
nunjuk saja semua barang sudah langsung ada seketika. Uang, bukan persoalan
lagi. Semuanya tinggal gesek dan tidak pusing bayar cicilan rumah atau
kendaraan. Lalu mengapa mereka menggunakan narkoba? Apakah masih kurang
bahagia?
iya lah kang … pasti perasaan sangat senang
dan bahagia apalagi kalau pasangan saya sesuai dengan yang diinginkan, karena
itu impian saya sekarang.
Oke, sekarang faktanya, kamu sudah menemukan
pasangan yang tepat? Kamu sudah menikah?
Ya belum lah Kang. Kan Saya masih
jomblo.
Terus… kamu belum bahagia dong? Kan bahagia
menurut kamu ketika mendapatkan pasangan yang
tepat dan menikah dengannya, betul seperti itu?
Iya juga yah… artinya saya belum bahagia
sekarang… hemmm…
Oke, contoh kedua. Bagi yang belum memiliki
rumah dan menurutmu bahagia itu ketika sudah memiliki rumah sendiri? Kalau iya,
artinya kamu sekarang belum bahagia? Faktanya memang belum punya rumah kan?
Seandainya, Tuhan kasih rumah 30 tahun lagi. Selama itu kamu enggak bahagia?
Betul seperti itu?
Sama dengan contoh-contoh yang lain. Ketika kamu
menempatkan kebahagian kamu di luar sana atau kondisi eksternal plus pakai
syarat yang berat, artinya kamu susah sekali mendapatkan kebahagiaan. Otomatis,
ketika kamu susah mendapatkan kebahagiaan, mungkin kamu tidak menyukai dengan
situasi atau kondisi saat ini, efek lanjutnya kamu jadi tidak suka dengan diri
kamu sendiri. Bisa jadi kan?
Bagaimana mau menyukai orang lain, kalau kamu
tidak menyukai diri sendiri? Hayooo…
Konsepnya sederhana, ketika mencintai dirimu sendiri,
maka apapun situasi dan kondisinya kamu bisa menerima untuk mengikhlaskan serta
memaafkan siapa pun dan apapun situasinya.
Apakah waktu itu saya bahagia dengan
kebangkrutan?
Jujur saja, awalnya tidak. Tapi setelah beberapa lama akhirnya terus belajar dan belajar, serta menemukan makna mencintai diri sendiri sehingga bersyukur dengan pengalaman tersebut. Ingat yah, pengalamannya bukan bangkrutnya. beda tuh!
Alhamdulillah,
saya mendapatkan kesempatan kuliah S3 di bidang bisnis dengan uang pangkal
ratusan juta. Saya ibaratkan saja seperti itu, kebangkrutan saya adalah
pengalaman berharga layaknya kuliah S3 jurusan manajemen bisnis.
Ada sebuah
pertanyaan menggelitik, apakah setiap orang memang layak untuk dicintai?
Jawaban saya
IYA, karena cinta itu adalah fitrah pemberian dari Allah SWT dan karena cinta
pun Allah SWT menciptakan manusia agar manusia bisa merasakan cinta antara satu
dengan lainnya, bahkan mencintai diri nya sendiri.
Konsepnya
sederhana, sebelum mencintai orang lain ada hal yang perlu kamu lakukan, yakni
mencintai diri sendiri. Ada banyak manfaat, kamu harus mencintai dahulu dirimu
sendiri sebelum kamu mencintai orang lain.
Salah satu cara
efektif agar kita bisa mencintai diri sendiri adalah dengan mengenal lebih
dekat tentang dirimu, memahami apa kekuatan dan keterbatasan kamu? Sudah kah?
Kalau telah mengetahui
tentang diri kita sendiri dan apa saja kelebihan dan kelemahan kita. Maka itu
jalan terbaik, karena sejatinya setiap manusia diciptakan dengan kelebihan dan
keterbatasannya. Tidak ada yang sempurna dan tidak ada yang sepenuhnya tidak
berguna.
Jika kita sudah
mengetahui itu semua dan menerima semuanya, merasa cukup dengan apa yang sudah
dititipkan Allah kepada kita, merasa bersyukur dengan diri sendiri, maka efek
lanjutnya, kita tidak akan mudah terpengaruh oleh omongan orang lain.
Sudah tidak
perlu berharap terlalu besar orang lain memuji, menyanjung, mendewa-dewakan
diri kita bahkan tidak perlu terganggu jika ada orang yang menjatuhkan kita.
Kalau kita sudah bisa menghargai diri, kita akan dengan tulus untuk memuji
orang lain tanpa mengharap orang lain juga akan memuji. Ketulusan lahir di sana
dan kita enggan untuk menyakiti dan menyinggung orang lain.
Maka dari itu,
kalau ada teman, sehabat atau bahkan saudara kita sering berbicara negatif,
berkomentar enggak enak, menyimpulkan orang lain dari sudut pandang negatif dan
tidak pernah memujinya, bisa jadi dia belum mencintai dirinya sendiri. Iya kan?
Lalu bagaimana
caranya kita bisa mencintai diri sendiri?
Nah soal ini kita bahas di lain waktu yah. Ingatkan saja yah!
Jadi, kamu sekarang sudah bahagia? Jawab di komen yah!
Comments
Post a Comment